Rabu, 11 Februari 2009

*******

Dear Dee,

. . . . . Akhirnya kini bangunan itu tertinggal senyap tak tersisa. Tak ada suara lagi yang terdengar keluar dari dalamnya. Pintunya masih terkunci dengan pasti. Jendelanya sudah sesak dengan debu. Halamannya dipenuhi dedaunan yang terus menumpuk dari hari ke hari. Beberapa pojoknya sudah diisi makhluk hidup lain yang engkau dulu sangat geli kalau melihatnya. Ya, betul !! makhluk berjala itu. Tapi aku tak lantas segera menyingkirkannya. Biar saja. Toh dia tak merusak apapun disini. Tapi, Kalau engkau tengah berada disini saat ini, itu pasti aku lakukan. Aku paham benar bagaimana begitu enggannya engkau untuk berada dekat dengan laba-laba. Kau pernah cerita semuanya, asal muasal sehingga kau jijik dengan itu, tempatnya masih jelas dalam ingatanku. Di koridor kampus. Yang di waktu pagi hingga siang hari ramai dengan orang-orang kuliah .


. . . . . Tapi saat kau menceritakan itu, sore itu, hanya ada kita berdua dan beberapa orang lagi yang duduk sepelemparan batu dari kita.


Kaupun mulai bercerita sambil senyum-senyum kecil, tentang bagaimana teman laki-lakimu sewaktu SD dengan jahilnya membawa beberapa ekor laba-laba hitam yang disimpan dalam sebuah kotak korek api. Mereka membawanya memang untuk menjahilimu dan beberapa teman perempuanmu. Kau pun ketakutan setengah mati dan temanmu juga. Kalian berlarian kesana kemari sembari menjerit melengking. Sampai akhirnya seorang guru yang mendengar suara gaduh dikelas, datang membereskan masalah itu. Mereka yang berbuat jahil pun mendapat ganjaran, di jemur dekat tiang bendera. Tapi, ternyata itu belum usai, mereka tidak kapok dan ulang menjahilimu dengan laba-laba itu saat kau kembali ke rumah. Kali ini mereka membuatmu menangis hingga ke rumah dan terus menangis. Tapi dikoridor itu, saat kau bercerita tentang pengalaman itu, kau tidak menangis ataupun bersedih sedikitpun. Kau malah lebih banyak senyum sambil sesekali tertawa geli saat menghadirkan kembali pengalaman itu, pengalaman yang membuatmu kemudian trauma dengan laba-laba.

Aku sendiri tidak banyak menimpali ceritamu, dan hanya sempat berujar “ jika aku berada diwaktu itu, aku tak akan membiarkanmu diperlakukan seperti itu”. Dan kau pun membalas “ ah, kalau seandainya kau juga ada disitu, pasti kaupun turut dengan mereka mengerjai perempuan-perempuan dikelas dengan kotak laba-laba itu”. Aku tak berkata lagi, hanya tersenyum, tertunduk sembari membiarkan pandangan mataku berseliweran kemana-mana. Hmm, aku memang lebih banyak tertunduk saat kau tengah bercerita kala itu. Tertunduk , sambil melakukan hal-hal yang tidak jelas. Selama ini, memang aku akui saat kita ngobrol berdua, aku tidak pernah mampu melihat wajahmu lebih lama dari tiga detik. Entah kenapa. Padahal, menurut orang –terutama senior-senior kita—yang paling menarik dari dirimu adalah itu, wajahmu. Akupun tak berpendapat berbeda dengan mereka. Tapi tak jelas kenapa justru yang paling menarik dari dirimulah yang paling sulit untuk bisa aku ‘nikmati’. Ya, memandangi wajahmu, kenapa itu kerap sulit bagiku untuk kulakukan. Apalagi saat kita tengah bertatapan. Dalam beberapa kali kita bertatapan, saya pasti yang duluan akan membuang muka.

Tapi ada satu alasan . . . . aku tahu pasti bagaimana prinsip dan jalan hidup yang kau ambil, tentang keteguhanmu menjalankan ajaran agama. Aku tahu, dalam pandangan yang kau yakini, memandangi lawan jenis yang bukan muhrimnya terlalu lama adalah LARANGAN. Aku tahu pasti tentang itu. Dan aku menghormatinya. Itu pun kemudian menjadi salah satu alasan kenapa aku tak berani terlalu lama memandangi wajahmu. Salah satu alasan . . ? iya, salah satu. Karena ada alasan lain, yang lebih besar dari itu. Atau katakanlah, alasan yang sebenarnya yang mungkin tak kau ketahui benar. Dan akan aku katakan sekarang, apa alasan yang sebenarnya itu. Ah, tapi . . . mungkin saja kau sudah tahu tentang itu, tentang alasan itu. Tapi biarlah, akan kukatakan.

Dengar baik-baik. Kau tahu, tiap kali kau berada disekitarku, it seems like I’m loosing control. Tiap kali sinyal keberadaan dirimu ditangkap oleh sensor otakku, entah kenapa secara otamatis aku menjadi salah tingkah. Aneh memang. Padahal aku hanya tidak ingin terlihat berbuat salah di depanmu. Tapi justru itu yang kemudian membuatku tertekan, panik dan akhirnya . . . . salah tingkah. Hahahahahha. Saya pernah membaca tentang perilaku seperti itu. Ketika seseorang mencintai seseorang yang lain dan seseorang itu ingin terlihat perfect di depan seseorang yang dicintainya itu. Namun justru itulah yang membuatnya terlihat canggung. Tapi maaf, aku tidak bisa menjelaskan kesemuanya disini. Tapi kalau kau ingin tahu lebih banyak tentang hal itu. Aku punya bukunya. Sebuah buku psikologi yang aku beli di toko yang tak jauh dari tempat kosku.

. . . . saya masih ingat saat-saat itu. Saat kita duduk berdua saja di koridor itu . . . . . . . . . .

Oh iya Dee, waktu di koridor itu kita khan hanya berdua. Saya ingat itu. Dan kita duduk bersebelahan. Di batasi oleh jalan koridor itu. Kau dibagian kanan dan aku dibagian kiri. Kau tahu tidak, aku sebenarnya ingin mengambil tempat tepat disebelahmu. Ingin lebih dekat denganmu, seperti yang telah lama aku impikan. Tapi jelas itu blunder besar untuk sebuah untuk usaha mengambil simpatikmu. Aku tahu pasti itu bertentangan dengan cara pandanganmu. Kita berdua kan bukan muhrim. Tapi toh beberapakali saya sempat duduk disebelahmu untuk beberapa saat, dan kemudian kembali ke tempat semula. Itupun karena kau yang meminta. Ya, memintaku untuk membubuhkan stempel organisasi pada beberapa surat dan memasukkannya ke dalam amplop untuk diantar esok hari.

Beberapa waktu sebelumnya, kau memang memilihku membantumu dalam sebuah kepanitiaan. Tak jelas mengapa, diantara banyak teman yang bisa kau pilih, malah aku yang kemudian menjadi. Kau ingat !, waktu itu satu mata kuliah baru saja usai. Dan penguhuni kelas pun berhamburan keluar, mencari kesenangannya masing-masing sebelum tiba mata kuliah selanjutnya. Pun aku, waktu itu hendak bergerak ke kantin kecil tempat kita bisa makan dengan tenang tanpa harus pusing untuk segera membayar . Belum beberapa langkah keluar kelas, kau memanggilku dari belakang. Saat itu aku tidak berjalan sendiri. Bersamaku ada si Ichsan. Dia salah satu teman dekatku selama ini. Panggilanmu pun menghentikan langkah kami. Kau berlari kecil menghampiri kami. “ Salamlekum, Eh Jay, bantu aku bikin seminar ya. SK panitianya sudah mau dikeluarkan sama pengurus sore ini dan kita akan langsung rapat besok pagi ”. Wupf . . . . Saya setengah kaget dan setengahnya lagi tersontak. Permintaanmu datang bertubi-tubi, padahal jawabannya belum satupun ada yang keluar dari mulutku. Jangankan menjawab. Merespon salammu pun belum sempat kulakukan. Waktu itu aku cuma termangu. Persis kayak Ikan Sebelah yang diam tenang dipermukaan pasir. Jawaban justru keluar dari mulut si Ichsan. “ Iya dee. Dia mau”. Kata Ichsan sambil menyenggol pundakku. Sekali lagi saya masih tak berkata apa-apa. Perasaan ini berkecamuk. Kanapa saya ? begitu pertanyaan muncul, tapi tidak kuutarakan secara langsung. Pertanyaan itu hanya berputar-putar di kepalaku. Pertanyaan pertanyaan lain pun mulai bermunculan. Tapi sekali lagi tidak bisa keluar dari mulutku. Perasaan gugup dan dag dig dug lengkap kurasakan kala itu. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya aku bisa sedikit mengendalikan diri. Aku pun menganggukkan kepala. Usai mendapat persetujuanku, kau pun tersenyum kecil. “Oke Jay, tunggu saja pemberitahuan selanjutnya dari pengurus atau kalau tidak aku sendiri yang akan menghubungimu”. Begitu selanjutnya kau berkata seraya berbalik badan meninggalkan kami. Kau pun hilang di ujung lorong gedung itu. Bersamaan dengan itu, aku pun memperoleh kembali kesadaranku selengkap-lengkapnya. Layaknya jiwaku yang baru kembali dari dimensi lain dan baru keluar dari mesin waktu. Dee, aku tahu pasti kalau kau tahu pasti aku tidak akan pernah bisa menolak semua yang kau katakan. Jadi upayamu untuk meminta persetujuanku seolah klise. Tak ada gunanya. Kau membuang-buang waktu saja. Karena yah . . . . permintaanmu adalah kehormatanku.

. . . . saya masih ingat saat-saat itu. Saat kita duduk berdua saja di koridor itu . . . . . . . . . .

Waktu ashar sudah hampir tiba. Tak terasa hampir 30 menit kita berdua duduk di koridor itu. Banyak sudah cerita terurai. Kita sudah ngobrol banyak. Obrolan memang terasa penting disaat-saat seperti itu. Untuk mengikis kebekuan tentunya. Disela-sela menyelasaikan kesekretariatan untuk seminar itu, kita sudah terlibat dalam berbagai obrolan, sudah saling cerita pengalaman dan banyak lagi. Beberapa topic sensitive sengaja saya hindari. Topik sensitive itu tentu saja tentang perasaanku. Suasana hangat kayak begini jarang terjadi. Dan saya tidak ingin merusaknya. Ini saja bagiku sudah cukup lumayan. Bisa bersama berdua, hanya berdua.

Oh, iya. Dari kebersamaan berdua sore itu saya baru tahu kalau kita berdua ternyata sudah lebih dahulu terhubung, jauh sebelum kita masuk kuliah di tempat ini. Walaupun tentunya tidak secara langsung. Waktu itu kau bercerita dengan sekolahmu sebelumnya. Sebuah SMA papan atas di Indonesia yang tidak mudah untuk menembusnya. Iya, SMA elit Indonesia. Saya berani mengatakan demikian karena teman sekelas saya, yang kerap juara dikelas, gagal masuk ke sekolah tersebut. Dia gagal di tingkat propinsi. Tapi justru salah seorang sepupukulah yang waktu itu lolos, masuk ke sekolah tersebut. Kau pun menggamit sukses serupa. Kau lolos mewakili daerahmu untuk masuk ke sekolah elit tersebut. Dan kau pun akhirnya satu sekolah dengan sapupuku. Lebih jauh, kalian kemudian menjadi sahabat kental. Persahabatanmu itu bahkan berlangsung hingga saat ini. Saat kalian lulus dan kuliah kalian berjauhan. Jalinan persahabatan kalian juga menambah topik obrolan kita saat itu. Kita punya satu benang merah yang terhubung lewat sepupuku itu. Jadinya . . . kita ngobrol tentang dia.

Kau tahu, sepupuku yang juga sahabatmu itu, selalu menjadi orang yang diperbandingkan dengan aku oleh orang tuaku. Dia memang pintar dan tekun belajar. Dan selalu juara. Bahkan beberapa kali sempat mewakili kota kami tiap ada lomba adu pintar. Jujur saya jengah selalu diperbandingkan dengan dia. Saya tidak akan seperti dia. Beberapa mata pelajaran berhitung tidak pernah menjadi minatku. Sementara dia, tidak tenang kalau satu hari tidak menyelesaikan kumpulan soal-soal matematika dan fisika. Kondisi keluarganya juga mendukung dia untuk tekun. Kedua orang tuanya (paman dan bibiku) adalah guru dan salah seorang diantaranya adalah wali kelasku. Sementara ayah dan ibuku adalah orang kantoran yang terlalu sibuk dengan tugasnya kantornya masing-masing.

. . . . saya masih ingat saat-saat itu. Saat kita duduk berdua saja di koridor itu . . . . . . . . . .

Akhirnya, rampung sudah kerjaan kita sore itu. Semua surat sudah disahkan dan masuk ke amplopnya masing-masing. Tinggal besok menunggu siapa yang akan mengantarnya. Ah sudahlah, nanti saja besok dipikirkan lagi. Begitu terlintas dikepalaku. Seolah dapat membaca pikiranku, tiba-tiba kau pun bertanya “ Jay, undangan ini besok siapa yang mo antar ?”.

Wah, jawabannya jelas belum ada. Aku coba menyebut sembarang nama cowok yang seingatku ada di dalam susunan kepanitian seminar ini.

“sudah dikonfirmasi ke dia ?” kau lanjut bertanya.

“belum”. Jawabku

“Lho kok belum ? konfirmasi dulu. Pastikan dia bisa. Supaya kalo gak bisa, kita bisa langsung cari yang lain. Ini, pake HP-ku !! “. Ujarmu, sembari mengeluarkan HP dari dalam tas tanganmu.

Wajahmu saat itu terlihat sedikit memberat. Kau kecewa, jelas itu terlihat. Memang kau bisa menumpukkan kesalahan itu di atas pundakku. Karaktermu yang ingin semuanya bisa segera dibereskan sedikit menyimpang dari kebiasaanku yang suka menunda-nunda pekerjaan.

“wah, tapi aku tidak mempunyai nomor HP-nya”. Aku mencoba mencari alasan untuk menghindar.

“trus bagaimana jalan keluarnya”. Kau kembali bertanya.

“ begini saja, nanti sepulang dari sini saya akan singgah ke pondokannya sekalian mengantar undangan ini. Kalaupun dia nanti tidak bisa, saya akan langsung mencari yang lain. Kalaupun tidak ada yang bisa, biar saya sendiri yang akan mengantar besok. Pokoknya saya pastikan besok ini sudah terantar ke tujuan”. Begitu tawaranku.

“Okelah kalau begitu. Tapi kalau bisa jangan kamu yang antar. Besok masih ada yang lain yang harus kita selesaikan. Lagian kuliah kita cukup padat besok. Jangan sampai karna ini kamu gak masuk kuliah lagi, Jay “.

Uppsst. Can You Imagine that ?? when somebody you loved were care to you ???.

Saya tertegun sejenak. Kepedulian kecilmu itu, walau bagimu mungkin itu nasehat biasa seorang teman kuliah seangkatan, sudah berarti banyak bagiku. Tapi untuk kali cepat-cepat aku menginjakkan kaki ke bumi lagi. Perjalanan masih panjang. “Anggaplah ini suatu permulaan yang baik, Jay”. Begitu aku berguman dalam hati.

Usai semuanya, kau pun berpamitan mau pulang. Jalan bersama menemanimu hingga dapat kendaraan umum sempat terlintas dikepalaku. Tapi jelas, itu tidak mungkin. Kau pasti menolaknya. Sekali lagi, itu tidak sesuai dengan cara pandang dan tuntunan hidupmu. Saya pun hanya mengantarmu sebatas menuruni tangga. Hingga kemudian berlalu . . . . saya sendiri masih disitu sendiri. Membayangkan saat-saat seperti ini semoga hadir lagi kelak . . . . . . .

Be continued . . . . . . . . . .